Minggu, 25 Desember 2011

MODEL MOODY dalam Pemelajaran Sastra


Pembelajaran sastra dewasa ini mendapat berbagai sorotan. Ketidakberhasilan pemelajaran sastra memacu berbagai pihak untuk mencari solusi yang dapat ditempuh. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah mencari model pemelajaran yang cocok. Banyak model pemelajaran yang dapat digunakan dalam pemelajaran sastra. Dengan banyaknya model pemelajaran yang ditawarkan guru dapat memilih model-model yang kira-kira cocok dengan kondisi siswa serta bahan ajar yang akan disampaikan. Salah satu model yang dapat digunakan dalam pemelajaran sastra adalah Model Moody dengan berbagai keunggulan dan kelemahannya. 

 
Model Moody
Model Moody adalah model pemelajaran sastra yang dikemukakan oleh H. L. B. Moody dalam bukunya yang berjudul The Teaching of Literature. Ia mengajukan prinsip bahwa siswa harus mengalami langsung dalam berhubungan dengan karya sastra. Guru tidak boleh menjadi perantara pengalaman tersebut, melainkan harus berperan sebagai fasilitator  siswa dalam menentukan pengalaman sastranya. Selain itu, ia mengemukakan bahwa pengjaran sastra tidak diperkenankan melupakan aspek bahasa karena sastra merupakan seni kreatif yang menjadikan bahasa sebagai mediumnya.
Pendekatan yang digunkan model Moody dalam pemelajaran sastra adalah pendekatan struktural. Pendekatan ini mengutamakan penyelidikan sastra berdasarkan kenyataan teks karya sastra itu sendiri. Hal ini mengisyaratkan bahwa karya sastra merupakan bentuk seni kreatif yang mepunyai struktur berupa teks-teks. Dengan demikian model Moody masih dapat digunakan untuk menafsirkan karya-karya sastra berdasarkan struktur yang ada.
Prinsip Pemelajaran
Karya sastra merupakan bentuk buah pikiran atau penuangan ide-ide. Ide-ide muncul karena adanya pengalaman yang melekat pada diri penulisnya. Pengalaman inilah yang memungkinkan seseorang dapat menghasilkan sebuah karya.  Umar Yunus menegaskan bahawa imajinasi lahir karena adanya peristiwa. Dengan peristiwa itulah akan terbentuk imajinasi dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk tulisan jadilah sebuah karya sastra. Dengan demikian karya sastra dapat dilihat dari sudut proses kreatif sebagai pengalaman dan bahasa sebagai mediumnya. Karena itulah Moody dalam model pengalajaran sastra memfokuskan pada dua prinsip, yakni karya sastra sebagai pengalaman dan bahasa.
Sastra sebagai Pengalaman 
Moody berpendapat bahwa pengalaman adalah segala sesuatu yang terjadi dalam hidup. Hal tersebut dapat berupa apa-apa yang  dinikmati, dirasakan, dihayati, dipikirkan, diinisiasi, dan dilihat.
Membaca karya sastra merupakan suatu kegiatan yang dapat beroleh pengalaman. Akan tetapi, usaha tersebut sering kurang diperhatikan. Bila seseorang mau memperhatikan keterampilan pengarang dalam mengungkakan ide dan daya imajinasi dalam sebuah karya tentu pembaca akan bertambah kaya pengalaman-pengalaman yang didapatnya. Pengalaman dari hasil membaca akan lebih “berkesan” dan akan lebih berharga daripada pengalaman yang diperoleh dari lingkungan terbatas.
Dalam pemelajaran sastra secara tradisional guru sering bertindak sebagai pengantar informasi langsung pada siswa dan siswa pasif menerima segala informasi tersebut. Yang lebih parah, pemelajaran sastra pada saat ini masih berkutat pada tataran pendefinisian masalah-masalah di seputar sastra. Hal inilah yang menjadi persoalan mendasar bagi pemelajaran sastra.  Pemelajaran seperti itu seharusnya sudah ditinggalkan. Moody berpendapat bahwa pemelajaran sastra tidak dimaksudkan utnuk membentuk aktivitas mekanis atau otomatis tanpa membawa siswa terlibat secara langsung dengan karya sastra yang sedang dipelajarnya. Sifat dasar karya sastra hanya dapat ditangkap siswa dengan baik apabila setiap unsur khusus dihadirkan sebagai suatu  “pengalaman baru” bagi siswa. 
Pemelajaran sastra hendaknya menuntut keterlibatan siswa  secara aktif dengan cara langsung terhadap obyek kajian. Hal ini sesuai dengan sifat dasar karya sastra yang dapat diahami dan dinikmati dengan baik bila erlibat secara langsung. Karena itu, peran  guru dalam pemelajaran sastra bukan pengisi informasi bagi otak siswa tetapi mendorong siswa untuk menikmati dan memperoleh pengalaman dari karya sastra yang dipelajarinya. Dengan keterlibatan siswa secara langsung dengan karya sastra diharpakan mereka dapat memperoleh pengalaman yang bermakna bagi dirinya untuk selanjutnya dikembangkan.

Sastra dan Bahasa

Bahasa dan sastra merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra sebagai seni kreatif menggunakan bahasa sebagai medium. Rusyana (1984: 298) mengatakan bahwa sasrta sebagai bentuk kegiatan kreatif manusia yang mempergunakan bahasa sebagai medianya sangat erat sangkut pautnya dengan bahasa. Karena itu, sastra tanpa bahasa tidak mungkin terlahir.
Sesuai dengan pendapat di atas, pemelajaran sastra pada dasarnya belajar praktik berbahasa (Moody, 1971: 22-23) oleh karen itu, belajar sastra harus dilandaskan pada realisasi bahwa setiap karya sastra pada dasarnya merupakan sebuah kumpulan kata yang harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan oleh siswa.  Pengalaman sastra yang diperoleh siswa bagaimanapun juga hanya dapat dimulai dan dilanjutkan dengan jalan membaca dan mempelajari teks verbal.
Proses membaca merupakan hal yang rumit karena proses tersebut menuntut pembaca untuk memahami secara cepat simbol-simbol dar bahasa yang digunakan.  Untuk memahami simbol-simbol tersebut prmbaca harus lebih hati-hati. Oleh karena itu, guru sastra diharapkan benar-benar dapat memahami hal ihwal kebahasaan yang ada dalam karya sastra yang akan disajikan dalam pemelajaran. Guru harus mampu membedakan bahaa yang dipakai untuk mengungkapakan berbagai situasi atau hubungan nyaata bahasa yang digunakan. Yang terpenting (bagi Mody) guru sastra harus menyadari bahwa kata-kata yang digunkan dalam suatu karangan tidak selalu dapat mewakili seluruh ide  yang ingin disampaikan pengarang. Dengan demikian guru sastra harus peka terhadap makna-makna khusus yang terdapat dalam karya sastra baik tersirat maupun tersurat.

Prosedur Pemelajaran

Dalam pemelajaran sastra (Moody, 1971: 26) menyarankan sebuah prosedur yang terdiri atas beberapa tahap. Tahap-tahap tersebut yaitu:

1. Pelacakan Pedahuluan (Prelemenary Assesment)

Taha pendahuluan merupakan satu tahapan kegiatan yang harus ditempuh oleh guru sebelum ia tampil di depan kelas. Pada tahap ini guru harus membaca secara cermat materi yang akan diajikan agar memperoleh pemahaman yang memadai. Dengan pemahaman yang memadai guru akan mampu menentukan strategi yang tepat untuk menentukan aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian khusus dan meneliti fakta-fakta yang perlu dijelaskan.
Pada tahap ini guru harus dapat menggali berbagai informasi yang terdapat dalan karya sastra yang akan diajarkan. Jika tidak, ini akan mengakibatkan pemelajaran sastra semakin dangkal. Pengetahuan yang diberikan kepada siswa akan terasa kurang dan tidak akan pas dengan apa yang menjadi tujuan pemelajaran sastra itu sendiri. Pelacakan pedahuluan merupakan proses awal seorang guru untuk memahami teks-teks yang akan diajarkan kepada siswa. pelacakan ini sangat berguna bagi guru untuk dapat terus mengembangkan serta mencari format model pemelajarannya yang sesui dengan kondisi siswa.
Pada tahap pelacakan guru tentu memperoleh berbagai pengetahuan berkenaan dengan teks yang dibacanya. Hasil  anallisis ini sangat berguna bagi gur untuk dapat menentukan teks-teks yang harus, sebaiknya, atau dapat diajarkan. Hal tersbut tentu berkaitan dengan kondisi siswa yang akan mempelajarai kasrya sastra tersebut. Setelah pemahaman diperoleh guru harus menentukan kesesuaian teks dengan kemampuan siswa. Kesesuaian tersebut berkaitan dengan ide cerita, bahasa, nilai yang dapat diperoleh dan sebagainya.
2. Penentuan Sikap (Practical Decisions)
Setelah tahap pelacakan tahapan berikutnya adalah tahap penentuan sikap. Tahap ini merupakan kegiatan guru menentukan berbagai aspek dan cara yang diperlukan dengan tujuan guru dapat memperoleh gambaran yang cukup perihal pemelajaran yang berkaitan dengan siswa.   Hal  itu dilakukan untuk mengharahkan perhatian siswa agar pemelajaran tidak membosankan. Dengan demikian siswa dapat memahami dan menikmati teks secara lebih baik.
Pada tahap ini pula langkah-langkah selanjutnya harus dipikirkan. Guru sudah harus menentukan atau mengukuhkan berbagai persiapan untuk langkah berikutnya. Dengan persiapan yang cukup matang, guru dapat menentukan format pemelajaran yang tidak akan membosankan bagi siswanya. Pada tahap ini guru harus dapat menentukan pola pemelajaran sastra yang akan menjadikan siswa senang dan enjoy serta dapat memahami karya sastra yang dipelajarinya.
3. Introduksi (Introductin of work)
Tahap ini merupakan tahap pembuka pelajaran yang harus dilakukan oleh guru. Pada tahap ini guru harus dapat membawa siswa untuk dapat menikmati serta memahami karya sastra yang akan dihadapinya. Pada tahap ini guru memberikan pengantar ringkas berkenaan dengan materi yang akan diterima oleh siswa. Hal itu dilakukan dengan cara memberi pengantar telebih dahulu sebelum siswa dihadapkan langsung kepada teks yang akan dipelajarinya. Pengantar ini dilakukan untuk menarik perhatian dan mengkondisikan siswa untuk memasuki tahap penyajian teks. (karya sastra). Dalam memberikan pengantar, guru dituntut untuk dapat memahami berbagai kondisi berkaitan dengan pemelajaran yang akan dilaksanakan.
Hal-hal yang harus disampaikan pada tahap ini ialah sesuatu yang berhubungan dengan teks, seperti isu-isu khidupan nyata yang mirip dengan teks, kehidupan pengarang, keadaan masyarakat, dan lain-lain. Kegiatan tersebut merupakan pengkondisian agar siswa betul-betul memahami apa yang akan mereka kerjakan dalam pemelajaran.
Biasanya pengantar ini yang paling efektif adalah dengan cara mengungkapkan relevansi karya sastra dengan kehidupan siswa. pola seperti ini dapat dilakukan dengan cara mencari celah sekecil apapun dalam karya sastra ada sisi keterhubungan antara teks dengan penbaglaman kehidupan nyata siswa. jika ini dapat ditemukan pemelajaran sastra akan semakin mudah karena siswa mendapatkan gambaran langsung yang menyentuh pribadinya.

4. Penyajian (Presentation of the work)
Tahap penyajian merupakan tahapan inti dalam pemelajaran. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berhadapan dan berkenalan langsung dengan karya sastra. Karyasa sastra yang disajikan kepada siswa hendaknya dapat dinikmati dan dapat dipahami. Karena itu, pada tahap ini siswa wajib untuk membaca karya sastra tersebut. Dengan demikian, ketersediaan teks karya sastra merupakan hal pokok dalam pemelajaran.  Pada tahap ini, sebagai kegiatan ini, siswa diminta untuk memahami dan menikmati sastra dengan cara membacanya. Dengan demikian, pada tahap ini penekanan ditujukan kepada siswa untuk membaca karya sastra sebagai bahan ajar.
5. Diskusi (Discussion)
Pada tahap ini keterlibatan siswa betul-betul harus dilakukan. Siswa harus dapat memperdalam untuk memahami teks yang telah dibacanya. Agar kegiatan ini berjalan dengan baik, guru perlu merumuskan masalah yang akan didiskusikan siswa. Hal itu dapat dilakukan dengan mengemukankan berbagai bentuk pertanyaan yang berkaitan dengan materi atau kemungknan permasalahan akan muncul dari siswa itu sendiri.
Urutan masalah yang didiskusikan sangat bergantung pada imajinasi guru. Akan tetapi, secara umum urutan diskusi dan jawaban yang diperbincangkan sebaiknya mengkuti pola umum (kesan awal) – khusus (kesan rinci) – umum (kesimpulamn). Oleh karena itu, permasalahan hendaknya bergerak dari hal-hal yang global ke arah terinci dan kesimpulan.
6. Pengukuhan (reinforcement)
Pada tahap pengukuhan diharapkan siswa memperoleh kesan yang mendalam. Hal itu guna menambah pengalaman ang dimilikinya yang berkaitan dengan karya sastra yang dipelajari. Guru dalam hal ini  dapat memberikan penguatan materi yang perlu diketahui oleh siswa. Dengan demikian siswa terdorong untuk lebih berkemampuan untuk memahami karya sastra serta memperoleh pengalaman-pengalaman dari karya sastra yang dipelajarinya.
Demikianlah model pemelajaran yang dapat diambil dari Model Moody dalam rangka peningkatan gairah siswa dalam belajar sastra. Akan tetapi, model yang baik tidak dilaksanakan dengan baik akan sia-sia. Model pemelajaran yang baik adalah model yang dapat dikembangkan oleh setiap guru dengan memperhatikan berbagai kondisi siswa. wallahu ‘alam

2 komentar: