Minggu, 25 Desember 2011

SEMIOTIK: dalam Model Pembelajaraan Pemaknaan Puisi


Perihal Semiotik

Semiotik berasal dari kata semeion yang berarti tanda. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah sign. Titik berat istilah tersebut adalah makna dari tanda itu sendiri. Dengan demikian, yang menjadi fokus dari kajian semiotik adalah pengertian tanda itu sendiri. Istilah lain dari semiotik adalah semiologi. Kedua kata tersebut memiliki pengertian yang sama, yaitu sebagai ilmu tentang tanda. Baik semiotik maupun semiologi berasal dari bahasa Yunani  semion yang berarti tanda (Santosa)

Zoest menegaskan bahwa semiotik adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, yaitu cara berfungsinya, hubungannnya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut Panuti Sudjiman Semiotik dapat dikatakan sebagai kajian yang berhubungan dengan sistem tanda dan segala aspeknya. Hal tersebut memungkinkan kajian semiotik dapat dijadikan sebagai   dasar untuk mengkaji berbagai makna yang terdapat dalam tanda-tanda itu sendiri. Sedangkan Teeuw  menyatakan bahawa semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi.  Dalam kajian sastra semiotik diartikan sebagai model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Atar Semi menyatakan bahwa semiotik sebagai ilmu yang mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi dan ekspresi. Sastra sebagai alat komunikasi tentu mempunyai ciri tersendiri sebagai tanda yang dapat mengkomunikasikan makna di dalamnya. Komunikasi dan ekspresi dalam sastra merupakan unsur yang tidak mungkin dihilangkan. Tindak komunikasi dalam sastra dilambangkan dengan tanda bahasa. Oleh karena itu, semiotik dapat digunakan sebagai pedoman penemuan bukan saja makna melainkan hal-hal yang berkaitan dengan pemunculan makna itu sendiri.
Dick Hartoko menjelaskan bahwa semiotik adalah bagaimana  cara karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Penafsiran sebuah karya melalui tanda ini amat penting untuk mengungkap makna berdasarkan perlambangan yang terdapat di dalamnya. Karya satra dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya mempunyai tanda atau perlambangan tersendiri. Dengan menggunakan kajian semiotik, pemahaman terhadap sebuah karya akan menyeluruh karena berbagai tanda yang terdapat di dalamnya akan dikaji secara sistematis.
Semiotik adalah cabang ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistem lambang, dan proses perlambangan (Luxemburg). Secara singkat semiotik dapat dikatakan sebagai ilmu tentang tanda (Hawkes). Jacobson  mengemukakan bahwa sebagai ilmu tentang tanda, semiotik membahas prinsip-prinsip umum yang melandasi struktur semua tanda, juga membahas ciri-ciri penggunaannya dalam pesan,  di samping itu juga membahasa ciri khusus berbagai sistem tanda dan berbagai pesan yang menggunakan berbagai jenis tanda tersebut. Adapun sumber penyelidikan tentang tanda muncul dari persepsi dasar yang menyatakan bahwa suatu tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda yang dapat diamati langsung (signan) dan petanda yang dapat dipahami atau disimpulkan (signatum).
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa semiotik adalah hal yang berhubungan dengan studi tentang tanda dengan cara melihat fungsi serta hubungannya dengan tanda lainnya. Tanda dapat diartikan pada tataran makna luas yang berupa makna kias dan lugas. Studi semiotik berhubungan dengan tindak komunikasi dan ekspresi yang dilambangkan dengan tanda-tanda. Pendapat-pendapat di atas menyatakan bahwa semiotik merupakan kajian yang berhubungan dengan tanda. Bahasa merupakan sistem tanda. Oleh karena itu, semiotik dapat dijadikan suatu pendekatan terhadap pengkajian puisi karena puisi merupakan ungkapan yang menggunakan bahasa sebagai tanda.

Teori Semiotik Pierce 

Semiotik ala Peirce beranjak dari logika. Ia mengemukakan dengan bertolak dari filsafat dan memandang  semiotik sama dengan logika sebagai ilmu atau telaah tentang cara-cara bernalar. Persoalan utamanya adalah bagaimana seseorang bernalar.  Menurutnya bernalar selalu melalui tanda-tanda. Dengan adanya tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna kepada apa yang ditemukan dalam alam semesta. Dengan demikian tanda mempunyai peran penting dalam penalaran.
Bagi Peirce, tanda (representament) adalah  “something which stands to somebody for something in some respect or capacity” juga sebagai “anything which determines something else (its interpretents) to refer to an object to which itself refers (its object)” (Hawkes). Dengan demikian tanda akan menunjuk ke objeknya. Istilah (tanda, objek, interpretan, dan dasar) menunjukkan sarana-sarana pemaknaan suatu tanda. Hubungan antarkomponen tersebut menentukan ciri sesungguhnya dari proses semiosis.
Pemahaman akan struktur semiosis merupakan dasar untuk menafsirkan obyek yang diteliti. Untuk mengkaji obyek yang dipahaminya, seorang penafsir akan selau mendasarkan tafsirannya pada tiga jalur logika. Ketiga ajalur logika tersebut adalah

1.      Hubungan penalaran dengan jenis penalarannya

qualisign

:
penanda yang berhubungan dengan kualitas,
sinsign
:
penanda yang berhubungan dengan kenyataan,
legisign
:
penanda  yang berhubungan dengan kaidah.
                 
2.  Hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya
icon
:
sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya (terlihat pada gambar atau lukisan)                                                            
indeks
:
sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda  yang mengisyaratakan petandanya
symbol
:
sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai petanda yang oleh kaidah secara konvensional telah lazim digunakan dalam masyarakat.




3.      Hubungan pikiran dengan jenis petandanya

rheme or seme
:
penanda yang bertalian dengan mungkin terpahaminya obyek petanda bagi penafsir;
dicent or dicisign or pheme
:
Penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya
argumen
:
Penanda yang petandanya akhir bukan suatu benda tetapi kaidah.

Penggunaan kesembilan tipe penanda sebagai struktur semiosis tersebut dapat dipergunakan secara kombinasi antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, sinsign indexial rhematis : [tertawa tiba-tiba]. Tertawa secara tiba-tiba dapat menandai tiga kenyataan, yaitu kenyataannya tertawa (sisign). Ekspresi dari tertawa secara tiba-tiba tersebut merupakan (indexical). Sebab-sebab tertawa yang berupa apa yang dilihat, dirasakan ataupun didengarnya (rhematic) (Santosa). Hubungan antara kenyataan dengan jenis dasarnya, Pierce membagi ke dalam tiga jenis, yakni, ikon, indeks, dan simbol. Ikon merupakan tanda yang menyatakan bahwa hubungan antara penanda dan petanda adalah hubungan persama-an/kedekatan. Indeks hubungan berupa kedekatan eksistensi, simbol merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi.
Berhubungan dengan pengkajian kesastraan berdasarkan semiotik, Pierce mengkla-sifikasikan tiga jenis ikon, yakni ikon topologis, diagramatik, dan metaforis. Ketiga ikon tersebut pada kenyataannya akan muncul sekaligus dalam satu teks. Ketiganya tidak dapat dipilah-pilah berdasarkan hal-hal yang paling menonjol dalam suatu teks. Agar ketiganya dapat dibedakan, hal itu dapat dilakukan dengan membuat deskripsi tentang berbagai hal yang menunjukkan kemunculannya. Jika dalam deskripsi terdapat istilah-istilah yang tergolong ke dalam wilayah makna spasialitas, hal itu berarti terdapat ikon topologis. Jika termasuk wilayah makna relasional berarti terdapat ikon diagramatik. Jika dalam deskripsi meng-haruskan dikapainya metafora sebagai istilah, hal itu berarti ikon metafora (Nurgiantoro).
 Hubungan lainnya adalah indeks. Indeks merupakan tanda yang menunjukkan bahwa hubungan penanda dan petanda bersifat kausalitas (Pradopo, Panuti Sudjiman dan Zoest,). Munculnya suatu tanda karena ada sebab-sebab yang memunculkannya. Dengan demikian indeks merupakan tanda yang mempunyai jangkauan eksistensial. Dalam indeks dapat dihubungkan antara tanda sebagai penanda  dan petandanya  yang memiliki sifat-sifat: nyata, bertataurut, musyabab dan selalu mengisyaratkan sesuatu, (Santosa). Indeks mengisyaratkan sesuatu yang dapat dilihat, dicium, dirasakan, dan didengar.  
Berbeda dengan ikon dan indeks, simbol menampilkan hubungan penanda dan petanda tidak ada hubungan alamiah melainkan hubungan yang bersifat arbitrer,  berdasarkan konvensi masyarakat (Pradopo). Simbol merupakan tanda yang paling cangggih. Dengan adanya simbol-simbol seseorang dapat berpikir, bernalar, dan dapat merasakan sesuatu. Salah satu simbol yang paling populer karena kearbitrerannya adalah bahasa. Simbol yang sangat lengkap adalah bahasa karena berfungsi sebagai sarana berpikir dan berasa serta merupakan prestasi kemanusiaan yang teramat besar yang sifatnya arbitrer berkenaan dengan penanda (Nurgiyantoro)
Bahasa merupakan penanda yang bersifat arbitrer. Puisi sebagai karya sastra yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya akan kaya dengan simbol-simbol yang terdapat di dalamnya. Untuk menemukan makna pada simbol yang bersifat arbitrer tersebut, penafsir dituntut secara kreatif dan dinamis. Keterpahaman akan simbol-simbol tersebut akan memudahkan menafsir dalam menemukan makna sebuah simbol (bahasa) dalam puisi.

Teori Semiotik Saussure

Semiotik ala Saussure, berbeda dengan Peirce, Saussure bertolak dari linguistik.  Saussure menyebut istilah ini dengan semiologi. Persoalan  utama dalam semiotik bagi Saussure adalah masalah bahasa. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Pengkajian terhadap bahasa akan membantu seseorang untuk memahami struktur semua tanda.
Saussure menekankan keistimewaan tanda bahasa. Menurut Roland Barthes, sebagai penafsir Saussure, hubungan antara penanda petanda adalah bukanlah kesamaan, melainkan kesepadanan. Dengan demikian penanda dan petandan bukanlah urutan sekuensial, melainkan korelasi yang mempersatukan keduanya. Bahasa merupakan sebuah sistem tanda  yang memiliki dua unsur yang tak terpisahkan, yakni penanda dan petanda (sigfinier dan signified) yang hubungannya bersifat arbitrer.
 Teori semiotik Saussure banyak berhubungan dengan linguistik secara umum.  Saussure merupakan seorang peletak dasar-dasar kebahasaan sebagai sistem tanda. Sebagai pelatak dasar kebahasaan sebagai sistem tanda, Saussure telah memperkirakan munculnya teori strukturalisme dan semiotika. Oleh karena itu, muncullah empat konsep sebagai landasan strukturalime dan semiotik. Keempat konsep tersebut adalah (1) penampang sinkronis dan diakronis, (2) relasi sintagmatik dan paradigmatik, (3) konsep penanda dan petanda, dan (4) pengertian antara bahasa (lingua) dan tuturan (parole).
Konsep Saussure yang digunakan dalam kajian sastra adalah konsep relasi sintagmatik dan paradigmatik. Dalam sebuah wacana, kata-kata saling berhubungan dan berkesinambungan sesuai dengan sifat linearitas bahasa. Di luar wacana kata-kata mempunyai kesamaan dalam berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan individu  dalam bentuk langue. Hubungan yang bersifat linear disebut hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif disebut hubungan paradigmatik (Nurgiyantoro).
Kajian terhadap puisi dapat menggunakan relasi sintagmatik dan paradigmatik. Kajian ini terutama berhubungan dengan bentuk-bentuk bahasanya. Kajian bahasa puisi berkaitan dengan terori fungsi puitik Jacobson (dalam Teeuw) menyatakan bahwa fungsi puitik bahasa adalah pemusatan perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri atau keterarahan ke pesan itu sendiri. Oleh karena itu, titik berat bahasa sebuah puisi adalah pesan. Pesan menjadi perhatian utama dalam sebuah puisi.
Bahasa puisi yang sarat dengan pesan yang disampaikan menuntut adanya diksi yang tepat. Ketepatan diksi inilah yang dapat memberi bobot tersendiri bagi puisi. Pilihan bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik) biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi, (sebagai pembangkit asosiasi tertentu), aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk (aspek morfologis), dan juga makna (Nurgiyantoro). Unsur-unsur inilah yang dapat mengusung kebermaknaan atau adanya pesan sebuah puisi tersampaikan.
Sedangkan di pihak lain puisi juga sangat memperhatikan aspek sintaksis (sintagmatis). Aspek ini dapat memberikan penekanan makna yang ditimbulkan karena disksi dan struktur yang berbeda. Dengan demikian untuk memenuhi syarat fungsi puitik bahasa puisi harus benar-benar mempunyai pesan dengan tidak mengesampingkan bahasa-bahasa puitis.

Komponen Semiotik

Semitotik sebagai pijakan dalam pengakjian karya sastra tentu mempunyai komponen di dalamnya. Komponen dasar semiotik mencakup tanda (sign), lambang (symbol)dan isyarat (signal). Ketiga komponen inilah yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam mengkaji karya sastra.
a. Tanda
Tanda dalam semiotik merupakan bagian yang menandai sesuatu atau keadaan  untuk menerangkan obyek kepada subyek. Tanda, dalam hal ini selalu menunjukkan kepada sesuatu yang bersifat nyata misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, peristiwa dan bentuk-bentuk tanda lainnya. Sebagai contoh terjadinya peristiwa gunung meletus mungkin diawali dengan tanda-tanda yang menunjukkan akan terjadinya peristiwa tersebut misalnya keluarnya asap tebal diiringi lahar. Bentuk seperti tanda alamiah tersebut merupakan suatu bagian dari hubungan secara alamiah pula. Peristiwa gunung meletus diwali dengan tanda-tanda yang menandakan akan terjadinya peristiwa itu.
Tanda-tanda alamiah berbeda dengan tanda-tanda yang dibuat oleh manusia. Tanda-tanda yang dibuat oleh manusia  hanya akan merujuk pada sesuatu hal yang terbatas maknanya. Tulisan manusia misalnya, merupakan tanda yang maknanya terbatas pada hal-hal yang tertuang di dalamnya. Hal ini dapat pula ditunjukkan oleh binatang dengan bunyi (suara) sebagai penanda dari binatang tersebut. Tanda-tanda seperti itu selalu tetap dan tidak pernah berubah. Dengan demikian tanda bersifat statis, umum, lugas dan obyektif.
b. Lambang
Lambang adalah sesuatu yang mengantarkan pemahaman si subyek kepada obyek. Suatu lambang biasanya selalu dikaitkan dengan tanda-tanda yang secara kultural, situasional, dan kondisional mengacu pada pengertian tertentu. Lambang kebanggaan negara berupa bendera. Warna pada bendera tersebut mempunyai makna sesuai dengan kultur, situasi, dan kondisi. 
Lambang bagi Peirce merupakan bagian dari tanda. Setiap lambang adalah tanda dan tidak setiap tanda itu sebagai lambang. Adakalanya tanda dapat menjadi lambang secara keseluruhan yaitu dalam bahasa. Sebagai sistem tanda yang arbitrer, setiap tanda dalam bahasa  merupakan lambang. Puisi sebagai karya dengan medium bahasa di dalamnya terdapat lambang  yang berupa bunyi, baik vokal maupun konsonan yang menyiratkan makna tertentu.
c.  Isyarat
Isyarat merupakan hal atau keadaan yang diberikan oleh si subyek kepada obyek. Isyarat bersifat temporal karena subyek berbuat sesuatu untuk memberitahukan kepada obyek pada saat tertentu. Isyarat jika ditangguhkan akan menjadi tanda atau perlambang.
Dalam puisi isyarat telah menjadi tanda atau perlambang. Hal itu terjadi karena puisi merupakan hasil reduksi isyarat pada diri penulis yang dituangkan dalam bentuk tulisan pada waktu lain. Bagi Peirce tanda mempunyai dua tataran, yakni tataran kebahasaan dan tataran mitis. Tataran kebahasaan  merupakan tanda yang acuan maknanya mantap. Karena itu, tataran ini petandanya sebagai makna lugas. Sedangkan tataran mitis penafsir harus menemukan makna yang terdapat di dalamnya karena pada tataran ini kata bermakna kias, majas, figuratif, subyektif, dan makna-makna sertaan lainnya.

Kajian Puisi dengan Pendekatan Semiotik

Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang cara pengungkapan kata-katanya berbeda dengan bentuk yang lain (prosa). Sebuah puisi  merupakan karya sastra yang sarat dengan pesan dan makna yang terkandung di dalamnya. Untuk menguak makna dalam puisi dapat dilakukan dengan cara menganalisisnya dengan menggunakan berbagai format analisis.
Analisis sebuah puisi bertujuan untuk mengungkap dan memahami makna yang terdapat di dalamnya. Teks puisi merupakan struktur yang bermakna dengan menggunakan medium bahasa sebagai pengungkapannya. Sebagai karya sastra dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya, puisi dapat dianalisis dari segi tanda kebahasaan.
Bahasa merupakan sistem ketandaan yang mempunyai makna. Makna sebuah bahasa ditentukan oleh konvensi masyarakatnya. Tanda bahasa bukanlah hal yang bersifat umum (ketiadaan makna) melainkan sesuatu yang bermakna sesuai dengan konvensi di masyarakatnya. Oleh karena itu, ketandaan dalam bahasa itulah merupakan bagian dari semiotik.
Analisis semiotik terhadap karya sastra  jelas akan mengedepankan bahasa sebagai  sistem tanda yang dikaji. Bahasa dalam karya sastra merupakan sistem tanda yang kompleks dan beragam. Oleh karena itu, bahasa dalam kerangka kajian semiotik merupakan hal yang pertama kali mendapat sorotan sebagaimana diungkapakan A. Teeuw bahwa “Faktor pertama dalam semiotik sastra harus diberi tempat yang selayaknya adalah bahasa itu sendiri, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam”. Dengan demikian pengkajian terhadap puisi  harus benar-benar memperhatikan masalah-masalah bahasa sebagai sistem tanda yang kompleks.
Bertolak dari gagasan  yang terdapat dalam pendekatan semiotik maka pengkajian terhadap puisi menitikberatkan pada unsur-unsur intrinsik. Unsur-unsur tersebut tentu saja dengan berbagai makna simbolis yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian analisis yang dilakukan berupa pengkajian unsur intrinsik serta makna simbolis yang terdapat pada unsur-unsur tersebut.


Unsur-unsur Puisi dalam Kajian Semiotik
Puisi sebagai karya sastra sarat dengan makna. Untuk dapat mengungkap makna pada sebuah puisi dapat dikaji dengan menggunakan teori semiotik. Beberapa unsur puisi  yang menjadi bahan kajian semiotik dalam penelitian ini adalah diksi, makna kata, citraan, dan gaya bahasa. Unsur-unsur tersebut merupakan unsur pembangun sebuah puisi yang dapat mengantarkan usaha mamaknai puisi menjadi lebih mudah
a. Diksi
Diksi berasal dari bahasa Latin dicere  atau  dictum. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah diction. Diksi dapat berarti pemilihan dan penyusunan kata-kata dalam tuturan atau tulisan (Scott). Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga memperoleh efek tertentu. Dengan demikian diksi dapat diartikan berupa kecermatan pemilihan dan penggunaan kata-kata yang  bertujuan untuk memperoleh efek ucapan atau tulisan yang disampaikan.
Penyair sebagai pengungkap kegelisahan batinnya tentu menginginkan kata-kata yang tepat dalam pengungkapannya. Ketepatan kata yang dipilih memungkinkan akan adanya penjelmaan pengalaman jiwa penyair secara utuh. Oleh karena itu, diksi merupakan sarana bagi penyair untuk dapat mengungkapakan pengalaman jiwa yang diekspresikan dalam bentuk kata-kata yang tepat. Ketepatan pemilihan kata memungkinkan penyair dapat menimbulkan imaji estetik. Dengan demikian, diksi merupakan salah satunya sarana untuk mendapatkan nilai estetik.
Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Untuk hal itu, ia memilih kata-kata yang setepat-tepatnya  yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk mendapatkan  intensitas serta supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya (Altenbern dalam pradopo). Kecermatan penyair dalam memilih kata-kata salah satu pertimbangannya adalah mencermati perbedaan makna kata sekecil-kecilnya. Perbedaan makna kata akan menimbulkan kesan tersendiri pada puisi yang dihasilkan.
Dalam penciptaan puisi, penyair sangat cermat dalam hal pemilihan kata-kata yang akan dipergunakannya. Pemilihan kata-kata secara tepat dapat dipertimbangkan melalui makna yang terkandung. Di samping makna, komposisi bunyi dan kedudukan kata dalam bait-bait puisi juga sangat diperhatikan. Kata-kata yang dipilih tersebut bersifat absolut dan tidak bisa digantikan dengan kata-kata lain walaupun dengan padanan katanya sekalipun. Penggantian kata-kata atau urutan kata akan merusak konstruksi puisi sehingga puisi tersebut akan kehilangan daya gaibnya (Herman J. Waluyo). Dengan demikian, begitu penting kecermatan dalam memilih kata-kata untuk menyampaikan pesan dalam sebuah puisi. Kecermatan dalam pemilihan kata-kata ini akan dapat dilakukan jika seorang penulis puisi memiliki perbendaharaan kata yang cukup memadai.
Perbendaharaan kata-kata yang dimiliki seorang penyair akan memudahkan penuangan ide-ide dalam karya-karyanya. Dengan kata-kata yang cukup terpilih juga akan memperlihatkan kemampuan penyair dalam mengekspresikan ide-ide tersebut. Di samping itu, dengan kata-kata yang secara selektif terpilih akan memperlihatkan karakterisitik karya-karya yang dihasilkan. Dengan demikian, kekuatan diksi seorang penyair jelas harus ditunjang dengan perbendaharaan kata yang cukup.
Perbendaharaan kata bagi seorang penyair merupakan satu keharusan yang mesti dimiliki. Untuk mendapatkan kata-kata yang sesuai dengan problematika yang akan disampaikan penyair biasanya tidak saja memilih kata-kata yang secara konvensional banyak digunakan, tetapi bisa saja ia memillih kata-kata yang sudah tidak dipergunakan lagi di masyarakat. Penggalian kata-kata tidak terbatas ke dalam perbendaharaan kata dari masa si pengarang itu, tetapi sering juga mencari jauh ke dalam perbendaharaan kata di masa lalu. Oleh karena itu, dalam sastra terhimpun perbendaharaan kata luas. (Rusyana).
Dalam tataran kata, sastra mempunyai satu kebesasan dalam pemilihannya. Bisa saja penyair menggunakan kata-kata yang sudah lama tidak dipergunakan lagi di masyarakat. Kebebasan ini bisa saja memunculkan kembali penggunaan kata-kata yang sudah tidak dipergunakan atau membangkitkan  makna yang terkandung di dalam kata tersebut. Dengan demikian, diksi dalam sebuah puisi bukan saja mengantarkan makna yang akan disampaikan dapat pula mengantarkan kata-kata lama untuk dipergunakan kembali.
b. Makna Denotasi dan Konotasi
Kata-kata yang terdapat dalam teks mempunyai makna tersendiri. Secara umum makna kata terdiri dari makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotasi adalah yang merujuk kepada makna sebenarnya (makna kamus). Sedangkan makna konotasi adalah arti tambahan yang ditimbulkan asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya ( Attenbern dalam Pradopo).
Dari segi makna,  Blake membedakan kata bermakna denotasi dan konotasi, ia menyatakan ”the denotative meaning is the meaning one migt find in dictionary, whereas the conotative meaning is the associations which attach to the word arrising  partly through the contexs in which it occurs and the other words with which is normally found”. (Makna denotatif adalah makna yang terdapat dalam kamus, sebaliknya makna konotatif asosiasi-asosiasi yang melahirkan struktur makna kata berdasarkan konteks dalam pemikiran dan kata-kata lainnya dengan yang biasanya)
Perbedaan denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidaknya nilai rasa pada sebuah kata. Setiap kata penuh mempunyai makna denotatif tetapi tidak mesti mempunyai makna konotatif.  Makna denotatif diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi yang dirasakan oleh panca indera dan perasaan serta pengalaman lainnya. sedangkan makna konotasi mengandung makna tambahan (Chaer).
Kata bermakna denotasi bersifat umum, tradisional, dan presendensial. Denotasi biasanya merupakan hasil penggunaan yang cukup lama dan termuat dalam kamus. Perubahan kata bermakna denotasi sangat lambat. Konotasi  merupakan respon emosional yang sering kali bersipat perseorangan, timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan pemakainya (Tarigan). Secara tidak langsung makna denotasi adalah makna kata berdasarkan kamus sedangkan konotasi berupa makna tambahan akibat adanya respon emosional. Respon emosional inilah yang akan menumbuhkembangkan makna konotasi pada diri pemakainya.
Makna kata yang masih menunjuk pada acuan dasarnya sesuai dengan konvensi yang telah disepakati bersama disebut makna denotatif atau makna dasar. Makna kata yang telah mengalami perubahan terhadap makna dasarnya disebut makna konotatif atau makna tambahan. Dengan demikian makna konotatif muncul manakala terjadi penambahan makna terhadap denotatif akibat kesan-kesan yang dimunculkan.
Makna konotatif muncul akibat adanya asosiasi-asosiasi. Asosiasi akan muncul jika terdapat makna kata yang tidak hanya memiliki satu makna. Makna  konotatif sebuah kata dipengaruhi  dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya ( Sumardjo dan  Saini K.M). Lingkungan tekstual adalah keseluruhan kata-kata dalam sebuah teks akan menentukan makna konotatif sebuah kata. Sedangkan lingkungan budaya adalah lingkungan yang secara tidak langsung menafsirkan makna-makna kata (makna kata berdasarkan konvensi masyarakat). Pada masyarakat tertentu pengucapan kata-kata mengandung makna yang berlainan jika dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Hal itu terjadi karena pada suatu masyarakat mungkin kata-kata tersebut berlainan penafsirannya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa sebuah kata mungkin hanya bermakna denotatif atau bermakna denotatif dan konotatif sekaligus. Makna denotatif adalah makna yang bersifat hanya menunjuk pada suatu hal yang berupa hasil observasi yang dirasakan pancaindera dan bersifat umum. Sedangkan makna konotatif adalah makna tambahan yang ditimbulkan dengan adanya asosiasi-asosiasi yang keluar dari denotasinya. Hal itu merupakan responsi emosional yang bersifat arbitrer dan terkadang bersifat irasional.
c. Citraan
Citraan (imagery) merupakan sesuatu yang dirasakan atau dialami secara imajinatif. Dengan ketepatan pilihan kata dalam sebuah karya sastra (puisi) membantu daya bayang untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Pembaca atau pendengar sastra seolah-olah dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh apa yang dibaca atau ditulis penyair. Citraan dalam sebuah puisi mengingatkan kembali sesuatu yang pernah dirasakan oleh pancaindera. Sebuah puisi sebagai karya sastra mempunyai daya bayang yang kuat apabila puisi itu mampu menimbulkan suatu gambaran atau menggugah perasaan, rasa, bunyi, atau aroma.
Citraan ialah gambar-gambar dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (Atenbernd dalam Pradopo). Munculnya gambar-gambar dalam pikiran merupakan efek dari hasil penangkapan pancaindera. Penangkapan pancaindera yang melekat pada pikiran akan mampu terekam jika pengalaman-pengalaman inderaan pernah dialaminya.
Citraan merupakan gambaran angan. Gambaran-gambaran angan itu bermacam-macam sesuai dengan indera yang menghasilkannya. Citraan dapat berupa penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, penciuman. Citraan yang dihasilkan berdasarkan indera penglihatan disebut citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), dan sebagainya. Dengan demikian, citraan yang muncul bergantung pada indera yang menangkapnya. Macam pencitraan itu meliputi kelima jenis indera manusia yakni citraan penglihatan (visual), pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (taktil termal), dan penciuman (olfaktori) (Nurgiyantoro).
Dalam karya sastra, citraan berfungsi  untuk memberikan gambaran yang jelas. Dengan adanya citraan, puisi akan terlihat lebih hidup dan menimbulkan suasana khusus, serta akan menarik perhatian. Pencitraan merupakan suatu gaya yang banyak dimanfaatkan dalam penulisan sastra. Pencitraan dapat dipergunakan untuk mengkonkretkan pengungkapan gagasan yang abstrak  dengan kata-kata yang mudah membangkitkan tanggapan imajinasi. Dengan adanya daya tanggapan imajinasi pembaca dengan mudah akan dapat membayangkan, merasakan, dan menangkap pesan yang terdapat dalam karya sastra. Dengan demikian, adanya pencitraan akan memudahkan pembaca untuk memahami sebuah karya.
Cuddon berkenaan dengan citraan mengemukakan “an image may be visual (pertaining to the eye), olfactory (smell), tactile (touch), auditory (hearing), gustatory (taste), abstrac (in which case it will appeal to what may be described as the intellect), and kinaesthetic (pertaining to the idea of it). (Sebuah gambaran penglihatan (berhubungan dengan mata), penciuman (bau), sentuhan (perabaan), auditory (pendengaran),   pencecapan (perasaan), abstrak ( dalam kasus ini akan menarik terhadap yang menjadi bahan pemikiran), gerak (berhubungan dengan apa yang menjadi ide).
Coddon dalam hal ini menyiratkan bermacam-macam citraan yang mungkin muncul dalam sastra. Penggunaan dari citraan tersebut mungkin intensitasnya akan berbeda-beda sesuai dengan penulis karya tersebut.
Berdasarkan pendapat Coddon tersebut, citraan dapat dibedakan atas beberapa bagian. Bagian tersebut merujuk pada aspek citraan apa yang tertuang dalam sebuah karya, bagian citraan tersebut, yaitu:
1.      citraan penglihatan (visual imagery);
2.      citraan pendengaran (auditory  imagery);
3.      citraan penciuman (olfactory imagery);
4.      citraan perabaan (tactile imagery);
5.      citraan perasaan dan pencecapan (gustatory imagery);
6.      citraan pemikiran (intelectual imagery); dan
7.      citraan gerak (kinaesthetic imagery).
Dengan adanya berbagai citraan, pembaca karya sastra dapat tergugah untuk menangkap gambaran yang terdapat dalam karya sastra. Pembaca dapat melihat, mendengar, merasakan, mencium hal-hal yang tergambarkan dalam karya sastra. Dengan demikian, sebuah citraan atau imagery merupakan segala sesuatu yang dapat terlihat, terdengar, tercium, tersentuh, atau terasakan. Dengan demikian sebuah citraan adalah sesuatu yang dapat dirasakan yang lahir dari pengalaman.
d. Bahasa Kiasan
Puisi sebagai bentuk karya sastra banyak menggunakan bahasa kiasan  dalam penyampaian gagasan yang terkandung di dalamnya. Bahasa kiasan (figurative language) meruapakan bahasa yang bersusun-susun atau berfigura. Adanya  bahasa kias dapat mengefektikan penyampaian maksud.  Dengan bahasa kias, imaji tambahan akan semakin mudah ditemukan sehingga yang abstrak menjadi konkret dan puisi lebih mudah dipahami dan nikmat untuk ditelaah. Bahasa kias juga dapat menyampaikan sesuatu yang luas menjadi simpel dan taktis sehingga orang mudah memahami maksudnya.
Bahasa kiasan sering dipandang sebagai ciri khas bagi jenis sastra puisi. Bahasa kias digunakan penyair  utnuk memperjelas maksud serta menjelmakan imaji. Berbagai sarana kias dapat dipergunakan penyair sesuai dengan hendaknya. Oleh karena itu, dalam sebuah puisi karya-karya antarpenyair akan berbeda-beda. Hal tersebut terjadi karena penyair mempunyai pandangan serta tujuan yang berbeda-beda.
Gaya bahasa kiasan pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan (keraf, 2001: 136). Membandingkan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain merupakan usaha untuk mencari kesamaan dari hal yang dipersamakan atau dibandingkan.
Bahasa kias biasanya digunakan penyair untuk mengungkapkan sesuatu secara tidak langsung. Hal itu dilakukan guna mempunyai efek tertentu dan pembacalah mempunyai kebebasan untuk memahaminya. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang. Berkenaan  dengan bahasa figuratif Scot memaparkan bahwa figurative language includes metaphor, simile, personification, and metonimy. Di sini dinyatakan bahwa bahasa kias atau figuratif dapat berupa metafora, simile, personifikasi, dan metonomia.
Berdasarkan paparan di atas dapat dikatakan bahwa bahasa kias merupakan bahasa yang bersusun-susun yang biasa digunakan untuk mengungkapkan makna secara tidak langsung. Bahasa kias biasanya mempersamakan atau membandingkan sesuatu hal dengan hal lain. Penggunaan bahasa kias dimaksudkan untuk menambah kejelasan gambaran angan, menarik perhatian, serta membantu imaji tambahan menjadikan sesuatu abstrak menjadi konkret.
Adapun beberap bahasa kias yang akan diuraikan  adalah bahasa kias yang intensitas penggunaannya cukup tinggi dalam penulisan puisi. Beberapa bahasa kias tersebut di antaranya:
1.  Metafora
Kata metafora berasal dari bahasa Yunani yakni metaphora yang dibentuk dari meta (over) ‘lebih’ dan pherein (to carry) ‘opreran’ atau ‘membawa’. Metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Oleh karen itu, pada metafora perbandingan tidak menggunakan kata-kata seperti, bak, bagai, bagaikan dan lain-lain.
Istilah metafora merujuk pada bentuk khas dari proses linguistik yang melalui berbagai aspek suatu obyek ditransfer ke obyek lain dan obyek yang kedua mampu membicarakan atau mengungkapkan sesuatu yang dimiliki oleh obyek pertama. Dengan demikian, obyek kedua dianggap seolah-olah merupakan obyek pertama ( Hawkes, 1984: 1)
Stephen mendefinisikan metafora sebagai “A comparison between two object for the purpose of describing one of them. A metaphor states that one object is another”. Metafor merupakan perbandingan dua obyek yang dianggap sama, padahal tidak sama. Metafora juga dapat dikatakan sebagai perbandingan suatu obyek dengan obyek lainnya sebagai sarana pengungkapan secara tidak langsung.
Metafora dapat disimpulkan sebagai bahasa kiasan yang membandingkan dua obyek yang berbeda, tetapi menganggap bahwa obyek yang kedua seolah-olah sama dengan obyek yang pertama. Metafora merupakan kiasan langsung dengan tidak menyebut obyek yang dikiaskan dan mengabaikan kata-kata konjungsi pembanding.
b.  Simile
Simile meruapakan bahasa kiasan yang membandingkan atau mempersamakan dua hal yang berlainan yang dianggap sama. Simile berarti perumpamaan berupa perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama (Tarigan). Berkenaan dengan bahasa kiasan berupa simile Stephen (1991: 52) menyatakan “simile a comparison between two object where one object is said to be like or as another” . Jelaslah sekali bahwa simile merupakan bentuk perbandingan yang secara eksplisit membandingkan dua hal yang berlainan dianggap sama.
Untuk membandingkan dua hal yang berlainan secara eksplisit, pada bahasa simile digunakan beberapa konjungsi misalnya, seperti, bak, bagai (kan), laksana, seumpama, dan kata-kata pembanding lainnya. Oeh karena itu, simile disebut juga bahasa kiasan perbandingan secara langsung.
c.  Personifikasi
Personifikasi dapat dikatakan sebagai bahasa kiasan yang mengungkapkan sesuatu yang mati seolah-olah hidup seperti manusia (penginsanan). Personifikasi berasal dari bahasa latin persona yang berarti actor’s mask, character acted a human being, yang dalam bentuk verbanya personare yang berati to sound through (Scott). Untuk menggambarkan suatu benda mati seperti manusia digunakanlah atribut-atribut persona.
Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan (Gorys Keraf). Benda-benda mati seolah-olah dapat melakukan hal-hal yang dapat dilakukan oleh manusia pada umumnya. Inilah yang  dikatakan oleh Barnet sebagai penghubung perasaan atau karakteristik manusia dengan abstraksi-abstraksi ide atau dengan objek-objek atau benda-benda mati.
 Personifikasi berusaha mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda mati dapat berbuat, berpikir, berbicara, dan  aktivitas-aktivitas lainnya seperti manusia. Dengan adanya personifikasi penggambaran semakin hidup dan bahasa menjadi indah dan sarat dengan makna yang terkandung karena mampu memberi kejelasan bayangan angan secara konkret.
d. Sinekdoke
Sinekdoke merupakan bahasa kiasan yang berupa pernyataan untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat keseluruhan dinyatakan hanya sebagian atau sebaliknya. Sinekdoke diturunkan dari bahasa Yunani syneckdechesthai yang berarti menerima bersama-sama. Bahasa kiasan ini berupa pernyataan-pernyataan yang menggambarkan sesuatu dengan cara menyebut bagian suatu benda atau benda secara utuh.
Sinekdok berupa pernyataan yang menyatakan sebagian maksudnya untuk keseluruhan (pars prototo) dan menyebut secara keseluruhan untuk sebagian (totem proparte). Dengan sinekdok gambaran puisi menjadi lebih hidup dan mengundang interpretasi yang beragam.

e. Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai bentuk penggunaan bahasa yang khas yang dilakukan seseorang. Gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis dan juga menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca (Slametmulyana, dalam Pradopo). Oleh karena itu, gaya bahasa seseorang tentu akan berbeda karena gaya bahasa merupakan sesuatu yang muncul dalam pikiran dan paerasaan seseorang yang akan diungkapkan.
Gaya bahasa pengarang yang dilahirkan akan berbeda-beda sesuai dengan karakter kepengarangannya. Walaupun pengarang mempunyai ciri tersendiri dalam hal gaya bahasa, biasanya ada beberapa bentuk gaya bahasa yang sering dipergunakan. Bentuk-bentuk gaya bahasa tersebut disebut sebaga sarana retoris atau gaya bahasa retoris. Gaya bahasa retoris tersebut diantarnaya, hiperbola, pleonasme, tautologi, kiasmus, paralelisme, dan lain-lain. 
1Hiperbola
Hiperbola merupakan gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu secara berlebihan. Hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf). Pernyataan yang berlebihan itu dimaksudkan untuk  menyangatkan, intensitas, dan ekspresivitas (Pradopo). Dengan sarana hiperbola dalam puisi akan terlihat sesuatu keintensifan pernyataan.
Dengan penggunaan hiperbola  akan tergambar hal-hal yang menakutkan, mencekam, mengerikan, dan lain-lain. Semua itu tergambar dengan kata-kata yang sengaja dilakukan penyair untuk membesar-besarkan sesuatu agar menimbulkan efek yang tepat.
2. Pleoname dan Tautologi
Pleonasme merupakan gaya bahasa yang berusaha membuat efek yang padu. Dalam pleonasme biasanya digunakan dua kata yang secara umum kata kedua maknanya sudah tercakup pada kata pertama. Pradopo menyatakan bahwa “pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi, tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata pertama”. Jelaslah bahwa dalam pleonasme digunakan dua kata dan kata yang kedua maknanya telah tersimpul pada kata pertama. Hal itu dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu agar lebih jelas bagi pembaca atau pendengar.
Berbeda dengan pleonasme, tautologi merupakan suatu pernyataan dengan menggunakan dua kata dan kata yang kedua merupakan penegas karena maknanya sama. Tautologi ialah sarana retorika yang menyatakan keadaan dua kali; maksudnya suapaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang dipergunakan untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama. Dalam tautologi, kata yang kedua mempunyai makna yang sama atau hampir sama dengan kata yang pertama. Dengan demikian tautologi bermaksud untuk menegaskan maksud dengan cara mengulang gagasan dengan kata yang sama atau hampir sama maknanya.

3. Kiasmus
Kiasmus ialah jenis gaya bahasa yang  terdiri dari dua bagian pernyataan berupa frase atau klausa yang berimbang. Dalam kiasmus kedua bagian tersebut diulang dengan cara dibalikkan. Kiasmus ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah satu bagian kalimatnya dibalik posisinya: diri mengeras dalam kehidupan – kehidupan mengeras dalam diri
4. Paralelisme
Paralelisme adalah gaya bahasa perulangan yang maksudnya sama. Perulangan tersebut untuk mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata. Biasanya perualangan tersebut hanya muncul beberapa kata yang berbeda dengan klausa yang diulang.  Keraf (2001: 126) menyatakan bahawa “ Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.
Paralelisme (persejajaran) ialah mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Pengulangan klausa tersebut dapat menimbulkan kesan dan irama tersendiri dalam puisi.  Paralelisme  ialah persejajaran antara dua bagian kalimat yang sama, perulangan kalimat, atau pengulangan kata-kata pada awal puisi dan menimbulkan musik.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa paralelisme merupakan  pengulangan frase atau klausa yang konstruksi dan maknanya sama atau sejajar.
Pemaknaan Puisi dengan Konsep Semiotik
Puisi merupakan teks yang akan bermakna jika sudah dimaknai oleh pembacanya. Pemberian makna terhadap puisi biasanya dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara pemaknaan puisi tentnu tidak berdasarkan kemauan pembaca secara semau-maunya, tetapi harus berdasarkan suatu kerangka teori. Salah satu pemaknaan puisi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik dapat dilakukan karena puisi menggunakan bahasa sebagai mediumnya dan bahasa merupakan sistem tanda.
Pemberian makna terhadap puisi bukanlah hal yag mudah karena pemaknaan terhadap puisi harus memahami konvensi baik sastra maupun bahasa.  Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk memaknai puisi adalah pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik ini digunakan karena bahasa merupakan sistem tanda. Oleh karena itu,  pemaknaan yang dilakukan adalah memahami puisi sebagai sistem tanda (semiotik) yang bermakna berdasarkan konvensi sastra dan bahasa.
Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry  memberikan formula untuk memaknai puisi berdasarkan semiotik. Pemaknaan berdasarkan semiotik dapat dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahap-tahap pemaknaannya dapat dilakukan dengan penentuan kata kunci atau matriks dan pembacaan secara semiotik. Pembacaan secara semiotik berupa pembacaan heuristik dan retroaktif atau heurmeunitik.
Pemaknaan  terhadap puisi dengan menggunkan  pendekatan semiotik memandang bahwa bahasa sebagai tanda. Bahasa dalam puisi menurut Pradopo merupakan sistem tanda tahap kedua karena bahasa sebagai tanda pada tahap kesatu sudah mempunyai makna berdasarkan konvensi bahasa. Oleh karena itu, konvensi bahasa tahap kedualah yang digunakan dalam pemaknaan puisi.
1. Matriks atau Kata Kunci
Pemaknaan terhadap puisi berdasarkan semiotik dapat dilakukan dengan menentukan matriks atau kata kunci. Kata kkunci ini merupakan hal yang dapat memudahkan penafsiran sebuah puisi. Dengan adanya matriks, pemaknaan puisi menjadi terfokus dan mudah dilakukan.
Penentuan matriks tentu tidak dapat sembarangan. Untuk menemukan matriks penafsir puisi harus dapat mengungkap pengantar pokok persoalan yang dibicarakan dalam puisi tersebut.  Sebagai contoh penentuan matriks pada puisi karya Sutardji Caslzoum Bachri dapat dilakukan sebagai berikut.

TANAH AIRMATA
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
Mata air airmata kami
Air mata tanah air kami
Di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami dibalik gembur subur tanahmu
Kami simpan perih kami
Dibalik etalase megah gedung-gedungmu
Kami coba sembunyikan derita kami
...
(Sutardji Cazoum Bachri)

Matriks atau kata kunci puisi di atas adalah kata tanah air dan air mata. Kata tanah air dan air mata sebagai kata kunci dapat mengantarkan kepada pemahaman akan keseluruhan makna yang terkandung dalam puisi tersebut. Kata tanah air dapat diartikan sebagai negara, tanah kelahiran, atau tempat kediaman atau sesuatu yang harus diperjuangkan untuk kemaslahatan bersama. Air mata merupakan simbol  kedukaan, tangis kesedihan, dan kesengsaraan batin. Dengan penemuan kata kunci inilah akan memudahkan penafsir puisi untuk memaknainya.
2. Pembacaan Semiotik
Selain penentuan matriks, pemaknaan terhadap puisi dapat dilakukan juga dengan cara pembacaan semiotik. Proses pembacaan semiotik untuk memaknai puisi dilakukan dengan dua tahap. Kedua tahap tersebut adalah pembacaan secara heuristik, dan pembacaan secara retroaktif atau heurmeunitik.
a. Pembacaan Heuristik
Pembacaan heuristik dapat dikatakan sebagai pembacaan pelacakan makna puisi karena kegiatan ini menekankan pada struktur normatif bahasa sebagai sistem tanda. Pembacaan ini didasarkan atas konvensi bahasa sesuai dengan kedudukannya sebagai sitem semiotik tingkat pertama. Oleh karena itu, pembacaan heuristik hanya menitikberatkan pada hal-hal lahiriah dari puisi.
Bahasa dalam puisi umumnya tidak mengikuti kaidah-kaidah konvensional kebahasaan. Bahasa puisi penyimpang dari penggunaan bahasa secara normatif. Bahasa puisi  merupakan suatu ketidakotomatisan atau ketidakbiasaan. Ini merupakan sifat kepuistisan yang dapat dialami secara empiris (Hawkes). Penyimpangan penggunaan bahasa dalam puisi dari sistem bahasa normatif sering terjadi misalnya,  berupa penghilangan imbuhan, pemendekatan kata, penyimpangan struktur sintaksis, penghapusan tanda baca, penggabungan kata, pemutusan kata, penggunaan kata-kata lama atau baru.
Dengan adanya pembacaan heuristik, sebuah puisi akan terlihat sebagaimana penggunaan bahasa secara normatif. Penyisipan imbuhan, penambahan kata-kata, penggunaan tanda baca dilakukan dalam pemabacaan heuristik. Hal itu dilakukan agar hubungan antarkalimat dalam puisi menjadi jelas. Oleh karena itu, dalam pembacaan heuristik ini semua yang tidak biasa dibuat menjadi biasa atau harus dinaturalisasikan sesuai dengan bahasa normatif.
Apa pun yang dilakukan dalam pembacaan heuristik akan tetap mempertahankan bahasa asli puisi.  Susunan puisi tetap dijaga seperti sediakala. Penambahan yang dilakukan dengan cara membubuhkan tanda kurung untuk menandai bahwa yang terdapat di dalam kurung tersebut merupakan unsur tambahan. Dengan penggunaan tanda kurung yang mengapit komponen tambahan akan tampak bagian-bagian yang ditambahkan dari kata-kata atau baris-baris dalam puisi.
b. Pembacaan Retroaktif
Puisi sesuai dengan konvensinya menyatakan suatu gagasan secara tidak langsung. Bahasa dalam puisi banyak menggunakan  kiasan, tanda-tanda visual, atau konvensi-konvensi lainnya. untuk memaknai puisi dapat juga dilakukan dengan pembacaan retroaktif. Pembacaan retroaktif atau heurmeunitik merupakan kaji (pembacaan) ulang dari awal sampai akhir dengan penafsiran atau pembacaan heurmeunitik.
Pembacaan retroaktif merupakan kelanjutan dari pembacaan heuristik. Puisi, pada pembacaan ini diinterpretasikan  sesuai dengan simbol dan lambang sesuai dengan konvensi puisi. Pembacaan retroaktif berusaha menafsirkan hal-hal yang terkandung di dalam sebuah puisi, seperti, makna denotasi-konotasi, bahasa kiasan, citraan, gaya bahasa retoris, matrik dan lain-lain sesuai dengan konvensi pemaknaan terhadap karya sastra. Dengan pembacaan retroaktif akan muncul makna-makna yang terkandung dalam puisi  sebagai hasil interpretasi. Oleh karena itu, pembacaan retroaktif dalam kajian semiotik dapat dikatakan sebagai kajian komprehensif terhadap puisi.
Demikianlah pemknaan terhadap puisi dengan pendekatan semiotik yang menitikberatkan pada tanda bahasa dengan menggunakan pola pembacaan baik heuristik  maupun retroaktif sebagai pola kaji secara tuntas. Penentuan matriks dalam mengkaji sebuah puisi sangatlah bermanfaat untuk mengantarkan pemahaman terhadap makna yang tersirat dn tersurat dalam sebuah puisi. Pola  penerapan kajian dengan menggunakan penentukan matriks dan pembacaan semiotik tidaklah satu-satunya model yang dapat dilakkan untuk menentukan makna sebuah puisi. wallahu ‘alam.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Cuddon, J. A. 1979. A Dictionary of Literary Terms.  Great Britain: W & J Mackay Limited, Chatha
Hawkess, T. 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen Co. Ltd.
Hawkess, T. 1984. Methaphora. London: Methuen Co. Ltd
Keraf, G. 2001. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Luxemburg, J. F., Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. (Diindonesiakan oleh Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia
Pradopo, R. Dj. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius
Riffatere, M. 1980. Semiotics of Poetry. London: Methuen Co. Ltd.
Rusyana, Y. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Dipeonegoro
Santosa, P. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian susastra. Bandung: Angkasa
Semi, A. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa
Sudjiman, P. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI Press
Sudjiman, P. dan  Aart Van Zoest. 1996. Serba Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sumardjo, J. dan Saini K.M., 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Tarigan, H.G. 1991. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa
Tarigan, H.G. 1995. Dasar-Dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya
Waluyo, H.J. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
Wellek, R. dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar